Monday, May 16, 2011


Jalan Menuju Iman - Part 2


أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ، وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ، وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ، وَإِلَى اْلأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
"Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?"  (Al-Ghasyiyah 17-20).

فَلْيَنْظُرِ اْلإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ، خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ، يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ

"Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan? Dia diciptakan dari air memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dengan tulang dada perempuan" 
(At-Thariq 5-7).

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Silih bergantinya malam dan siang. Berlayarnya bahtera di laut yang membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering). Dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. Dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya (semua itu) terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan"   (Al-Baqarah 164).

   Banyak lagi ayat-ayat yang serupa, yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda-benda alam dengan seksama, dan melmperhatikan apa yang ada di sekelilingnya maupun yang berhubungan dengan keberadaan dirinya. Ajakan itu untuk dijadikan petunjuk akan adanya Pencipta yang Maha Pengatur, sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar pada akal dan bukti yang nyata.
   Memang benar, bahwa iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan hal yang fitri pada setiap manusia. Hanya saja, iman yang fitri ini muncul dari perasaan yang berasal dari hati nurani. Cara seperti ini bila dibiarkan begitu saja, tanpa dikaitkan dengan akal, sangatlah riskan akibatnya serta tidak dapat dipertahankan lama. Pada kenyataannya, perasaan tersebut sering menambah-nambah apa yang diimani, dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang dianggap lumrah terhadap apa yang ia imani. Tanpa sadar, cara tersebut justru menjerumuskannya ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong) dan ajaran kebathinan, tidak lain akibat kesalahan perasaan hati ini. Karena itulah, Islam tidak membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Ini dimaksudkan agar seseorang tidak menambah-nambah sifat Allah SWT dengan sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan; atau memberinya kesempatan untuk mengkhayalkan penjelmaan-Nya dalam bentuk materi; atau beranggapan bahwa untuk mendekatkan diri kepada-Nya dapat ditempuh melalui penyembahan benda-benda, sehingga menjurus ke arah kekufuran, syirik, khurafat, dan imajinasi yang keliru yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus. Oleh karena itu, Islam menegaskan agar selalu menggunakan akal disamping adanya perasaan hati. Islam mewajibkan atas setiap umatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah SWT, melarang taqlid dalam masalah aqidah. Untuk itu, Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي اْلأَلْبَابِ
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal"   (Ali Imran 190).

Dengan demikian setiap muslim wajib menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta senantiasa bertahkim (merujuk) kepada akalnya secara mutlak dalam beriman kepada Allah SWT. Ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama, dalam rangka mencari sunatullah serta guna memperoleh petunjuk untuk beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh Al-Quran dalam berbagai surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi akal manusia untuk diajak berfikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkannya agar tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya.
   Inilah iman yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang lemah, melainkan iman yang berlandaskan pemikiran yang cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (alam sekitarnya), berpikir dan berpikir, kemudian lewat pengamatan dan perenungannya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa.

   Kendati wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Sebab akal manusia terbatas. Kekuatannya terbatas sekalipun meningkat dan bertambah, hingga batas yang tidak dapat dilampauinya lagi; terbatas pula jangkauannya. Melihat kenyataan ini, maka perlu diingat bahwa akal tidak mampu memahami Zat Allah dan hakekat-Nya. Sebab, Allah SWT berada di luar ketiga unsur pokok alami (alam semesta, manusia, dan hidup) di atas. Sedangkan akal manusia tidak mampu memahami apa yang ada di luar jangkauannya. Walhasil, ia tidak akan mampu memahami Zat Allah. Perlu digarisbawahi bukan berarti lalu mengatakan "Bagaimana mungkin orang (dapat) beriman kepada Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Zat Allah ?" Tentu, kita tidak mengatakan demikian, karena pada hakekatnya iman itu adalah percaya terhadap wujud (keberadaan) Allah SWT. Sementara wujud-Nya dapat diketahui melalui makhluk-makhluk-Nya, yang meliputi alam semesta, manusia, dan hidup. Tiga unsur ini berada dalam batas jangkauan akal manusia. Dengan memahami ketiga perkara itu, orang dapat memahami adanya Pencipta, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, iman terhadap adanya Allah dapat dicapai melalui akal dan berada dalam jangkauan akal. 
    Lain halnya dengan usaha manusia untuk memahami hakekat Zat Allah SWT yang tergolong dalam perkara mustahil untuk dicapai. Sebab, Zat Allah berada di luar unsur alam semesta, manusia, dan hidup. Dengan kata lain berada di luar jangkauan kemampuan akal. Akal tidak mungkin memahami hakekat apa yang ada di luar cakupan kemampuannya, karena perannya amat terbatas. Malah seharusnya keterbatasannya itu justru menjadi faktor penguat iman, bukan sebaliknya menjadi penyebab keragu-raguan dan kebimbangan. 
    Sesungguhnya, apabila iman kita kepada Allah SWT telah dicapai melalui proses berfikir, maka kesadaran kita terhadap eksistensi Allah akan menjadi sempurna. Apabila perasaan hati kita (yang timbul dari wijdan, pent.) mengisyaratkan adanya Allah, kemudian dikaitkan dengan akal, tentu perasaan tersebut akan mencapai suatu tingkat yang meyakinkan. Lebih dari itu akan memberikan pemahaman yang sempurna serta perasaan yang meyakinkan terhadap sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya, cara tersebut akan meyakinkan kita bahwa manusia tidak sanggup memahami hakekat Zat Allah, bahkan sebaliknya hal ini justru akan memperkuat iman kita kepada-Nya. Disamping keyakinan seperti ini, kita juga wajib berserah diri terhadap seluruh perkara yang dikabarkan Allah SWT tentang berbagai hal yang tidak sanggup dicerna atau yang tidak dapat dicapai oleh akal. Ini disebabkan karena lemahnya akal manusia yang memiliki ukuran-ukuran nisbi, yang serba terbatas kemampuannya untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan akalnya. Padahal untuk memahami hal semacam ini, diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki dan tidak akan pernah dimiliki manusia.