Monday, May 16, 2011

JALAN  MENUJU  IMAN Part 1

Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup1), alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan Zat yang ada sebelum alam kehidupan dan alam yang ada sesudah kehidupan dunia. Oleh karena itu, harus ada perubahan yang mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain agar ia mampu bangkit. Sebab, pemikiranlah yang membentuk mafahim2) terhadap segala sesuatu serta yang memperkuatnya. Selain itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya di dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahim-nya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafahim seseorang terhadap orang yang dicintainya akan membentuk perilaku terhadap orang tersebut, yang nyata-nyata berlawanan terhadap orang lain yang dibencinya,  dimana ia memiliki mafahim kebencian terhadapnya. Begitu juga akan berbeda terhadap orang yang sama sekali tidak dikenalnya, dimana ia tidak memiliki mafhum apapun terhadap orang tersebut. Demikianlah, tingkah laku manusia selalu berkaitan erat dengan mafahim yang dimilikinya. 
Maka dari itu, apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia yang rendah menjadi luhur, tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah mafhum-nya terlebih dahulu. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman :

إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka" (Ar-Ra'd 11).

   Satu-satunya jalan untuk mengubah mafahim seseorang adalah dengan mewujudkan suatu pemikiran tentang kehidupan dunia sehingga dapat terwujud mafahim yang benar akan kehidupan tersebut pada dirinya. Namun, pemikiran seperti ini tidak akan melekat erat dan memberikan hasil yang berarti, kecuali jika terbentuk dalam dirinya pemikiran tentang alam semesta, manusia, dan hidup; tentang Zat yang ada sebelum kehidupan dunia dan alam yang ada sesudahnya; disamping juga keterkaitan kehidupan dunia dengan Zat yang ada sebelumnya dan alam yang ada sesudahnya. Semua itu dapat dicapai dengan memberikan kepada manusia pemikiran menyeluruh dan sempurna tentang apa yang ada di balik ketiga unsur utama tadi. Sebab, pemikiran menyeluruh dan sempurna semacam ini merupakan landasan berpikir (al-qa’idatul fikriyah) yang dapat melahirkan seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan dunia. Memberikan pemikiran yang menyeluruh mengenai ketiga unsur tadi merupakan pemecahan al-uqdatul kubra3) pada diri manusia. Apabila al-uqdatul kubra ini teruraikan, maka terurailah berbagai permasalahan lainnya, karena seluruh problema kehidupan pada dasarnya merupakan cabang dari al-uqdatul kubra tadi. Namun demikian, pemecahan tersebut tidak akan mengantarkan kita kepada kebangkitan yang benar, kecuali apabila pemecahan itu sendiri adalah benar, yaitu pemecahan yang sesuai dengan fithrah manusia, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan hati. 

    Pemecahan yang benar itu tidak akan dapat ditempuh kecuali dengan al-fikrul mustanir --yaitu pemikiran yang sangat dalam, yang mencakup hakekat segala sesuatu, termasuk semua hal yang berhubungan dengannya-- tentang alam semesta, manusia, dan hidup. Bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan menginginkan kehidupannya berada pada jalan yang mulia, mau tidak mau terlebih dahulu harus memecahkan al-uqdatul kubra ini dengan benar. Caranya, melalui al-fikrul mustanir tadi. Pemecahan inilah yang menghasilkan aqidah, sekaligus menjadi landasan berpikir yang melahirkan pemikiran-pemikiran cabang tentang perilaku manusia di dunia ini serta peraturan-peraturannya. 

Islam telah menangani al-uqdatul kubra ini, serta telah dipecahkan untuk manusia dengan cara yang sesuai dengan fitrah, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan jiwa. Ditetapkannya pula bahwa untuk memeluk agama Islam tergantung sepenuhnya pada pengakuan terhadap pemecahan ini, yaitu pengakuan yang betul-betul muncul dari akal. Oleh sebab itu, Islam dibangun di atas satu dasar, yaitu aqidah. Aqidah ini menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan hidup, terdapat Pencipta (Al-Khaliq) yang telah meciptakan ketiganya, serta telah meciptakan segala sesuatu yang lainnya. Dialah Allah SWT. Bahwasanya Pencipta telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud, wajib adanya, sebab kalau tidak demikian, berarti Ia tidak mampu menjadi Khaliq. Ia bukanlah makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk.  Dipastikan pula bahwa Ia mutlak adanya, karena segala sesuatu menyandarkan wujud atau eksistensinya kepada diri-Nya; sementara Ia tidak bersandar kepada apapun.

    Bukti bahwa segala sesuatu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya dapat diterangkan sebagai berikut: bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan hidup. Ketiga unsur ini bersifat terbatas, lemah, serba kurang, dan saling membutuhkan satu dengan yang lain. Misalnya manusia. Manusia terbatas sifatnya, karena ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang tidak dapat dilampuinya lagi. Jadi, amat jelas bahwa manusia bersifat terbatas. Begitu pula halnya dengan hidup,  bersifat terbatas, karena penampakannya bersifat individual. Apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa hidup ini berakhir pada satu individu saja. Dengan demikian, jelas bahwa hidup itu bersifat terbatas. Alam semesta pun demikian, memiliki sifat terbatas. Sebab, alam semesta merupakan kumpulan dari benda-benda angkasa, yang setiap bendanya memiliki keterbatasan. Sementara kumpulan segala sesuatu yang terbatas, tentu terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta pun bersifat terbatas. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa manusia, hidup, dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas. 

   Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang bersifat terbatas, akan kita simpulkan bahwa semuanya tidak azali. Sebab bila bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir), tentu tidak mempunyai keterbatasan. Dengan demikian jelaslah bahwa segala yang terbatas pasti diciptakan oleh ''sesuatu yang lain''. ''Sesuatu yang lain'' inilah yang disebut Al-Khaliq. Dialah yang menciptakan manusia, hidup, dan alam semesta.

   Dalam menentukan keberadaan Pencipta ini akan kita dapati tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud. Kemungkinan pertama bahwa Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang bathil, tidak dapat diterima oleh akal. Karena, bila benar demikian, tentu Ia bersifat terbatas. Begitu pula dengan kemungkinan kedua, yang menyatakan bahwa Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Jika memang demikian berarti Dia sebagai makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Suatu perkara yang jelas-jelas tidak dapat diterima. Oleh karena itu, Al-Khaliq harus bersifat azali dan wajibul wujud. Dialah Allah SWT.

   Sesungguhnya siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan --hanya dengan adanya benda-benda yang dapat diindera-- bahwa di balik benda-benda itu pasti terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab, kenyataan menunjukkan bahwa semua benda itu bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan. Ini saja sudah menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada hanyalah makhluk. Jadi untuk membuktikan adanya Al-Khaliq Yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengarahkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena hidup, dan diri manusia sendiri. Dengan mengamati salah satu planet yang ada di alam semesta, atau dengan merenungi fenomena hidup, atau meneliti salah satu bagian dari diri manusia, akan kita dapati bukti nyata dan meyakinkan akan adanya Allah SWT. 

   Di dalam Al-Quran, kita jumpai ajakan untuk mengarahkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada, seraya mengajak untuk turut mengamati dan memfokuskan perhatian terhadap benda-benda tersebut serta segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, atau yang berhubungan dengannya, dalam rangka pembuktian adanya Allah SWT. Dengan mengamati benda-benda tadi, bagaimana satu dengan yang lainnya saling membutuhkan, akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan dan pasti tentang keberadaan Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur. Al-Quran telah membeberkan ratusan ayat yang berhubungan dengan perkara ini, antara lain firman-firman Allah SWT :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي اْلأَلْبَابِ

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal"  (Ali Imran 190).

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ

"(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah diciptakan-Nya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu"   (Ar-Rum 22).